Jumat, 11 November 2016

Aku hanya iri melihat gadis-gadis lain di sekitarku masih bisa mengahabiskan waktu bersama ayahnya

Ayah adalah satu-satunya laki-laki yang kumiliki dalam hidupku. Beliaulah orang yang mengumandangkan adzan di telinga ini saat pertama kali aku melihat dunia. Beliau yang mengajariku berkendara, melukis, olahraga
dan semua hal-hal yang lumrah untuk seorang ayah ajarkan pada anak gadisnya. Sejak kecil aku tidak bisa tidur jika tidak ditemani ayah. Tak bisa kemana-mana jika tidak diantar olehnya. Bahkan jika ingin berpisah beberapa bulan lamanya semenjak kuliah tangan ini selalu memeluknya erat seolah itu adalah pelukan terakhir karena rasanya tak ingin untuk berpisah dengannya. Perlahan waktu berjalan hingga akhirnya saya harus betul-betul pergi merantau, kurasakan pelukan itu semakin hari semakin longgar, badannya yang semakin lemah dan suara yang semakin parau karena kanker yang menggorogoti hatinya. Hari itu aku berharap itu bukanlah pelukan terakhir untuk ayahku. Namun sebagai manusia saya hanya bisa berencana dan Tuhan yang menentukan. Aku pulang dan beruntung masih bisa melihatnya namun tak dapat lagi memeluknya karena perutnya telah bengkak gara-gara penyakit itu. Beliau hanya menggenggam tanganku dan berkata “jangan khawatir saya tidak apa-apa nanti insya Allah akan sembuh. Obatku banyak”. Namun aku melihat air mata di pelupuk matanya. Ayah kamu bohong, selama ini kamu selalu berbohong. Bahkan sakitmu sudah separah ini kamu masih sempat menghibur diriku. Hingga beberapa hari kemudian beliau tak lagi bisa bergerak, bicara, mendengar dan melihat. Beliau telah menutup mata dan pergi untuk selamanya. Tak ada lagi sosok ayah yang menjadi sandaranku selama ini, sosok ayah tempatku mengadu dan mendengarkan keluh kesahku. Aku hanya bisa memeluk sekujur tubuh yang telah terbaring kaku, tak berhenti kuciumi namun tak ada lagi kata yang keluar dari mulutnya untuk menenangkanku. Aku ingin teriak namun apa daya itu hanya akan membuat arwahnya tidak tenang di alam sana.

Kini 2 bulan lebih kepergiannya, tiap hari aku merindukan beliau membangunkanku dan bertanya apa yang akan kulakukan, apa yang telah kulakukan hari ini, hal menarik apa yang kutemui hari ini. Tak banyak orang yang tahu perasaanku karena mereka tak tahu seberapa dekat aku dengan beliau dan seberapa baiknya beliau sebagai seorang ayah. Aku hanya iri melihat gadis-gadis lain di sekitarku masih bisa mengahabiskan waktu bersama ayahnya.

Ayah, apa yang kau lakukan sekarang? Seperti apa rumahmu di sana? Apa kau masih mengingatku? Apa kau merindukan anak nakalmu ini. Datanglah ayah walau hanya dalam mimpi. Aku sungguh ingin memelukmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar