Pada tahun 1604 M datanglah 3 orang waliyullah penyebar agama Islam dari Minangkabau ke wilayah Bontotiro yang dahulu dikenal dengan Kerajaan Tiro. Mereka adalah Nurdin Ariyani/ Abdul Jawad Al Maulana Khatib Bungsu (Datuk Ri Tiro / Dato Tiro), Abdul Makmur Khatib Tunggal (Datuk Ri Bandang) dan Datuk Sulaiman Khatib Sulung (Datuk Patimang). Mereka bertiga adalah santri dari pesantren Sunan Giri. Sunan Giri adalah nama seorang Walisongo (sembilan wali) yang merupakan penyebar agama Islam di tanah Jawa.
Pertama kali menginjakkan kaki di kerajaan Tiro, Dato Tiro menancapkan tongkatnya sehingga keluarlah air yang kini dikenal dengan Permandian Limbua. Namun dalam penyebaran agama Islam, hanya salah satu di antara mereka yang boleh tinggal di daerah tersebut dan dua yang lainnya harus mencari daerah lain. Di zaman itu sangat kental ilmu kebatinan hingga untuk membuktikan siapa yang berhak tinggal maka dimulailah pertarungan kebatinan.
Pertarungan pertama adalah mereka tidak menemukan air untuk berwudhu. Datuk Ri Bandang menancapkan tongkatnya maka terbentuklah Buhung Barania (yang konon katanya barang siapa yg meminum airnya maka akan menjadi seorang yg pemberani). Apa yg dilakukan Dato Tiro? Beliau menarik tongkatnya keluarlah air yg sekarang dikenal dengan Buhung Labbua atau Permandian Sumur Panjang. Dalam hal ini diakui yg menang adalah Dato Tiro.
Pertarungan kedua, di siang hari yang panas dan membuat haus. Datuk Ri Bandang menunjuk ke sebuah pohon kelapa dan berjatuhanlah buahnya sehingga beliau bisa meminum air untuk melegakan kerongkongannya. Sedangkan ketika Dato Tiro menunjuk ke pohon kelapa, maka pohon kelapa tersebut menunduk kepadanya dan beliau memilih buah mana yg hendak diminum airnya. Dalam hal ini Dato Tiro kembali memenangkan pertarungan dengan alasan tak ada buah kelapa yg terbuang sia-sia.
Pertarungan ketiga adalah ketika hendak merokok. Datuk Ri Bandang menghadapkan rokoknya ke matahari maka terbakarlah rokok tersebut. Sedangkan Dato Tiro mencelupkan rokoknya ke dalam air. Dan lagi-lagi, Dato Tiro kembali memenangkan pertarungan.
Pertarungan selanjutnya adalah Datuk Ri Bandang berkata "Saya shalat di atas daun pisang krn daun pisang itu bersih", sedangkan Dato Tiro mengatakan "saya shalat di bagian bawah daun pisang karena itu lebih bersih". Dalam hal ini Datuk Ri Bandang "angkat topi" mengakui kehebatan Dato Tiro dan tinggallah Dato Tiro sendiri di wilayah Kerajaan Tiro untuk menyebarkan Islam
Mendengar hal tersebut, Launru dg Biasa yang tidak lain adalah Raja pertama Tiro (cucu dari Karaeng Samparaja dg Malaja / Karaeng Sapo Batu) menugaskan seorang "Gallarrang" untuk menyampaikan kepada Dato Tiro agar datang menghadap kepada beliau. Dato Tiro pun datang menghadap dengan maksud untuk mengislamkan Raja atau Karaeng Tiro. Dalam tiga kali percobaan pengucapan, Karaeng Tiro selalu salah mengucap; "Asyhadu allaa hila hila hilaa", dan baru pada pengucapan keempat beliau dapat melafazkannya dengan benar. Karena peristiwa ini, tempat tinggal Karaeng Tiro kemudian dinamakan Hila-Hila. Sampai akhir hayatnya, Dato ri Tiro menghabiskan hidup beliau di dusun ini. Saat melafazkan syahadat, Kr.Tiro dalam keadaan berkeringat dan menggigil hingga beliau diberi gelar Karaeng Ambibia.
Dato ri Tiro kemudian melanjutkan dakwahnya menuju daerah Kajang. Daerah ini adalah daerah adat yang diperintah oleh Ammatoa. Daerah ini adalah daerah yang paling kuat memegang adat, bahkan hingga hari ini. Pada proses dakwahnya, Dato ri Tiro kemudian berhasil mengislamkan daerah ini. Tapi karena proses yang belum selesai, ada beberapa kesalahpahaman yang timbul. Salah satunya adalah kepercayaan penduduk Kajang bahwa Al-Qur'an diturunkan pertama kali di daerah ini, karena Dato ri Tiro membawa Kitab Suci Al-Qur'an ke daerah ini pada saat proses dakwah berlangsung.
Setelah berhasil mengislamkan penduduk Bontotiro dan Kajang, Dato Tiro pun lenyap atau kata orang-orang"a'linrung" dan yang tertinggal hanyalah tongkat beliau. Tongkat tersebut dikubur untuk menghargai dan mengenang beliau. Makam tersebut hingga sekarang sering diziarahi oleh orang-orang dari berbagai daerah.
Pertama kali menginjakkan kaki di kerajaan Tiro, Dato Tiro menancapkan tongkatnya sehingga keluarlah air yang kini dikenal dengan Permandian Limbua. Namun dalam penyebaran agama Islam, hanya salah satu di antara mereka yang boleh tinggal di daerah tersebut dan dua yang lainnya harus mencari daerah lain. Di zaman itu sangat kental ilmu kebatinan hingga untuk membuktikan siapa yang berhak tinggal maka dimulailah pertarungan kebatinan.
Pertarungan pertama adalah mereka tidak menemukan air untuk berwudhu. Datuk Ri Bandang menancapkan tongkatnya maka terbentuklah Buhung Barania (yang konon katanya barang siapa yg meminum airnya maka akan menjadi seorang yg pemberani). Apa yg dilakukan Dato Tiro? Beliau menarik tongkatnya keluarlah air yg sekarang dikenal dengan Buhung Labbua atau Permandian Sumur Panjang. Dalam hal ini diakui yg menang adalah Dato Tiro.
Pertarungan kedua, di siang hari yang panas dan membuat haus. Datuk Ri Bandang menunjuk ke sebuah pohon kelapa dan berjatuhanlah buahnya sehingga beliau bisa meminum air untuk melegakan kerongkongannya. Sedangkan ketika Dato Tiro menunjuk ke pohon kelapa, maka pohon kelapa tersebut menunduk kepadanya dan beliau memilih buah mana yg hendak diminum airnya. Dalam hal ini Dato Tiro kembali memenangkan pertarungan dengan alasan tak ada buah kelapa yg terbuang sia-sia.
Pertarungan ketiga adalah ketika hendak merokok. Datuk Ri Bandang menghadapkan rokoknya ke matahari maka terbakarlah rokok tersebut. Sedangkan Dato Tiro mencelupkan rokoknya ke dalam air. Dan lagi-lagi, Dato Tiro kembali memenangkan pertarungan.
Pertarungan selanjutnya adalah Datuk Ri Bandang berkata "Saya shalat di atas daun pisang krn daun pisang itu bersih", sedangkan Dato Tiro mengatakan "saya shalat di bagian bawah daun pisang karena itu lebih bersih". Dalam hal ini Datuk Ri Bandang "angkat topi" mengakui kehebatan Dato Tiro dan tinggallah Dato Tiro sendiri di wilayah Kerajaan Tiro untuk menyebarkan Islam
Mendengar hal tersebut, Launru dg Biasa yang tidak lain adalah Raja pertama Tiro (cucu dari Karaeng Samparaja dg Malaja / Karaeng Sapo Batu) menugaskan seorang "Gallarrang" untuk menyampaikan kepada Dato Tiro agar datang menghadap kepada beliau. Dato Tiro pun datang menghadap dengan maksud untuk mengislamkan Raja atau Karaeng Tiro. Dalam tiga kali percobaan pengucapan, Karaeng Tiro selalu salah mengucap; "Asyhadu allaa hila hila hilaa", dan baru pada pengucapan keempat beliau dapat melafazkannya dengan benar. Karena peristiwa ini, tempat tinggal Karaeng Tiro kemudian dinamakan Hila-Hila. Sampai akhir hayatnya, Dato ri Tiro menghabiskan hidup beliau di dusun ini. Saat melafazkan syahadat, Kr.Tiro dalam keadaan berkeringat dan menggigil hingga beliau diberi gelar Karaeng Ambibia.
Dato ri Tiro kemudian melanjutkan dakwahnya menuju daerah Kajang. Daerah ini adalah daerah adat yang diperintah oleh Ammatoa. Daerah ini adalah daerah yang paling kuat memegang adat, bahkan hingga hari ini. Pada proses dakwahnya, Dato ri Tiro kemudian berhasil mengislamkan daerah ini. Tapi karena proses yang belum selesai, ada beberapa kesalahpahaman yang timbul. Salah satunya adalah kepercayaan penduduk Kajang bahwa Al-Qur'an diturunkan pertama kali di daerah ini, karena Dato ri Tiro membawa Kitab Suci Al-Qur'an ke daerah ini pada saat proses dakwah berlangsung.
Setelah berhasil mengislamkan penduduk Bontotiro dan Kajang, Dato Tiro pun lenyap atau kata orang-orang"a'linrung" dan yang tertinggal hanyalah tongkat beliau. Tongkat tersebut dikubur untuk menghargai dan mengenang beliau. Makam tersebut hingga sekarang sering diziarahi oleh orang-orang dari berbagai daerah.
Dato Tiro adalah gelar yang diberikan orang-orang setempat kepada Syaikh Nurdin Ariyani Abdul Jawad Al Maulana Khatib bungsu. Dikarenakan dialek, maka Datuk Ri Tiro disebut Dato Tiro.
Subehanallah
BalasHapusterima kasih telah berkunjung dan memberi komentar di website kami
Hapus