Alkisah, zaman dahulu terjadi pernikahan sedarah yang membuat gempar seseantero negeri Luwu. Mendengar berita tersebut, baginda Payung Luwu memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada pasangan terlarang tersebut. Dikisahkan pula bahwa perkawinan sedarah tersebut terjadi antara ibu dan putranya yg berpisah sekian lama dan tanpa sengaja sang putra menikahi ibunya.
Mengetahui bahwa mereka akan dihukum mati, keduanya melarikan diri dari tanah Luwu. Mereka melakukan pelarian jauh dan perjalanan yg sulit ke arah Selatan menuju Silajara (Selayar). Para panglima Luwu pun tidak melepas mereka begitu saja, mereka melakukan pengejaran.
Hingga pada suatu hari, perjalanan menyusuri pinggir laut teluk Bone oleh kedua buronan itu tiba di suatu daerah perbukitan yang berada dipinggir laut. Pada suatu puncak bukit mereka melayangkan pandangannya jauh kearah selatan melewati garis horizon permukaan laut, mencari keberadaan Pulau Selayar, tujuan akhir pelariannya. Maka sejak itulah, kawasan itu dinamai BONTO TIRO yang kini menjadi salahsatu kecamatan dalam wilayah Kabupaten Bulukumba. Setelah menemukan arah menuju ke penyeberangan menuju Pulau Selayar, mereka meneruskan perjalanannya kearah selatan, menuju titik akhir perbatasan perairan teluk Bone, pertemuan antar 3 perairan, yakni : Teluk Bone, Laut Flores dan Selat Makassar. Tempat pertemuan itu terletak pada sebuah tanjung yang kini dikenal sebagai : Tanjung Bira. Pada tebing ujung paling selatan Pulau Sulawesi itulah akhirnya keduanya melepaskan lelah dan penat selama beberapa waktu, sembari mencari perahu untuk menyeberang.
Malang tak dapat ditolak, panglima Luwu pun menemukan mereka. Ketika mereka menghunus pedang, ibu dan anak tersebut melompat dari tebing yg terjal yang di bawahnya adalah pusaran air yang ganas, siap melahap apapun yg ada di pusarannya.
Menyaksikan peristiwa tersebut, panglima Luwu menyimpulkan bahwa mereka pasti tidak akan selamat dari gemuruh pusaran air tersebut dan merekapun kembali ke Luwu untuk melaporkan kepada baginda Payung Luwu tentang tugas yang diembannya.
Namun atas kuasa Tuhan YME, kedua ibu dan anak tersebut selamat dari ganasnya laut. Penderitaan hidup yang silih berganti membuat sang ibu menyimpan dendam kesumat yang teramat dalam terhadap segenap warga Luwu tanpa kecuali. Ia bersama puteranya menetap pada ujung tebing itu dengan meyakini banyak ilmu-ilmu kesaktian yang hebat. Salahsatunya adalah mengendalikan cuaca sekitarnya serta merubah susunan gugusan karang pada celah perairan itu. Ia dapat pula mendatangkan pusaran maut setiap saat yang dikehendakinya. Target satu-satunya adalah segenap orang Luwu yang melewati perairan itu. Maka keberadaanya di kawasan itu menjadikannya dikenal oleh orang-orang Bira dengan sebutan : KaraEng LohEta, sesuatu yang sesungguhnya berasal dari kata : KaraEng Luhuta (Pertuanan Luwu kita).
Kesaktian sang ibu menjadikan celah tanjung menjadi sangat angker. Ia senantiasa duduk di puncak tebing mengawasi perahu-perahu kiranya adakah orang Luwu yang dimuat perahu tersebut. Jika ada, maka dia menenggelamkannya tanpa ampun. Jasad orang-orang Luwu yang menjadi korbannya terkadang ada yang terdampar pada pantai timur, tidak begitu jauh dari kawasan kekuasan KaraEng LohEta. Maka masyarakat Bira menguburkannya dengan baik di pantai itu juga, hingga dikenal sebagai : Panrang Luhu.
Sang anak yang mengerti kebijakan baginda Payung Luwu yg hendak menegakkan kebenaran, tidak menyimpan dendam membara seperti ibunya. Jika terlebih dulu dia melihat perahu yang memuat orang Luwu maka dengan segera dia mengambil sisir dan menyisir rambut ibunya agar perhatian sang ibu teralihkan. Maka selamatlah perahu dan para penumpangnya.
Kisah ini diceritakan dari mulut ke mulut. Seperti halnya sejarah yang tidak memiliki kepastian, namun ada pelajaran yang bisa dipetik. Pernah suatu hari saya dan keluarga rekreasi di pantai bira. Saat itu kami hendak menyewa speed boat untuk mengarungi laut bira. Pemilik speed boat bertanya "apakah di sini ada orang Luwu?", Kami berkata ya, krn suami tanteku orang Luwu. Lalu si bapak berkata "orang Luwu tdk usah naik krn kadang tiba-tiba ada pusaran air dan sangat berbahaya". Saat itu usia saya masih 7 tahun dan belum mengerti apa-apa. Namun saat saya duduk di bangku kelas 1 SMA, sy mengikuti perkemahan Arkeologi yang diadakan oleh Akademi Pariwisata Makassar. Saat itu saya berdiskusi dengan seorang teman dari SMAN 1 Luwu Utara, dan beliau menceritakan hal yang sama bahwa orang berdara Luwu tidak akan bisa selamat jika melewati perairan Bira.
Wow... Kalo saya pernah tinggal di Luwu, tapi bukan asli dari sana.
BalasHapusApakah sebelumnya pernah mendengar cerita ini?
Hapus